Asosiasi Pengusaha Gula Dan Terigu Indonesia (APEGTI)
Senin, 14 November 2016
KEKUASAAN KARTEL PANGAN
Hampir setiap tahun, ketika gejolak harga pangan melonjak tinggi, salah satu sorotan pemerintah dan berbagai kalangan terkait adalah indikasi praktik kartel dalam pasar komoditas pangan. Sorotan akan perlahan mereda ketika harga komoditas pangan beranjak turun. Indonesia adalah negeri kartel dan mafia. Hampir setiap lini bisnis di negeri ini sudah dicemari praktik tercela itu. Tak mengherankan jika perekonomian nasional terus terdistorsi. Harga barang dan jasa acapkali melejit tanpa sebab yang jelas. Mekanisme pasar kerap lumpuh. Hukum penawaran dan permintaan dibuat tak berdaya.
Kartel adalah perbuatan melawan hukum. Berdasarkan pasal 11 Undang- Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, antarpelaku usaha dilarang membuat perjanjian untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
praktik kartel telah menyebabkan harga lima komoditas pangan itu cenderung terus naik di dalam negeri. Contohnya harga gula pada 2009 masih sekitar Rp 6.300 per kilogram (kg), namun kini berkisar Rp 11.000-13.000 per kg. Padahal, harga gula di pasar internasional hanya sekitar US$ 489,80 per ton atau Rp 4.700 per kg. Hal serupa terjadi pada komoditas kedelai dan daging sapi. Pada 2009, harga daging sapi hanya sekitar Rp 60.000 per kg, sekarang menembus Rp 100.000 per kg. Akibatnya, banyak pedagang bakso harus berhenti berjualan.
Sejumlah kalangan menilai, keberadaan kartel pangan sangat merugikan konsumen maupun industri pengolahan. Selain menguasai pasar, kelompok kartel terus berupaya mendorong harga dan merusak ketahanan pangan dalam negeri. Melihat keuntungan yang menggiurkan, mereka terus berupaya untuk mengimpor komoditas pangan.
Kartel importir pangan di Indonesia diperkirakan meraup keuntungan Rp 13,5 triliun per tahun. Keuntungan itu berasal dari 15% nilai impor komoditas pangan yang setiap tahun sekitar Rp 90 triliun. Mereka diduga mengendalikan harga dan pasokan komoditas pangan utama di dalam negeri seperti gula, kedelai, beras, jagung, dan daging sapi.
Struktur pasar komoditas pangan cenderung oligopolistis. Di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut ABCD, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90% perdagangan serealia atau biji-bijian dunia. Kecenderungan yang sama terjadi di pasar domestik. Importir kedelai hanya ada tiga, yakni PT Teluk Intan (menggunakan PT Gerbang Cahaya Utama), PT Sungai Budi, dan PT Cargill.
Di industri pakan unggas yang hampir 70% bahan bakunya adalah jagung, empat perusahaan terbesar menguasai sekitar 40% pangsa pasar. Sementara itu, empat produsen gula rafinasi terbesar menguasai 65% pangsa pasar gula rafinasi dan 63% pangsa pasar gula putih. “Untuk distribusi gula di dalam negeri diduga dikuasai enam orang. Mereka adalah Acuk, Sunhan, Harianto, Yayat, Kurnadi, dan Piko. Sebelumnya, pasar gula ini dikuasai ‘sembilan samurai’,” .
Kartel juga terjadi pada industri gula rafinas yang memperoleh izin impor raw sugar (gula mentah) 3 juta ton setahun yang dikuasai delapan produsen. Bagi sejumlah kalangan, kartel bisa dibenarkan asalkan untuk kepentingan masyarakat. Misalnya, Perum Bulog membeli gula petani dengan harga tinggi dan dijual dengan harga layak.
AKSI MAFIA GULA DAN TEKAD PRESIDEN JOKOWI UNTUK HENTIKAN KRAN IMPOR GULA
Pemerintahan Joko
Widodo & Jusuf Kalla mencanangkan target swasembada gula pada 2017. Namun
banyak yang meragukan target tersebut akan tercapai. Pemerintah harus bekerja
keras untuk meningkatkan koordinasi dari bidang-bidang terkait, sekaligus
mengurangi gerak atau peluang dari para spekulan atau mafia gula.
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu pemerintah dikejutkan dengan membanjirnya gula mentah atau sugar raw ke pasaran. Ini ulah dari mafia gula di kementerian perdagangan. Mereka memasukan gula mentah atau sugar raw sejumlah 3,2 juta ton ke pasar dalam negeri. Padahal, yang dibutuhkan hanya 2 juta ton saja untuk diproses menjadi gula rafinasi yang digunakan untuk industri makanan dan minuman.
Pergerakan tersebut adalah sebuah kesengajaan untuk mengeruk keuntungan besar: membanjiri pasar dengan gula rafinasi dengan harga yang jauh lebih murah dari gula lokal atau gula putih Kristal.
Dampak dari banjirnya gula rafinasi dipasar bukan saja merugikan petani tebu lokal dan BUMN perkebunan secara ekonomi. Akan tetapi juga sangat membahayakan kesehatan masyarakat yang langsung mengkonsumsi gula rafinasi karena dapat meningkatkan jumlah penderita diabetes di Indonesia.
Gula rafinasi itu berbahaya karena gula itu untuk industri makanan minuman, jadi perlu ada pengolahan lagi kalau mau dikonsumsi, dibandingkan gula hasil produksi dari tumbuhan tebu yang jauh lebih sehat.
Sementara dari sisi ekonomi, dengan semakin maraknya peredaran gula rafinasi di pasar ritel tersebut mengakibatkan harga gula yang berbahan baku dari tebu turut jatuh padahal gula itu yang lebih layak konsumsi.
Oleh karena itu sangat wajar jika Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu mendesak Presiden Jokowi yang pernah berjanji saat kampanye pilpres untuk mencabut izin impor gula rafinasi untuk merealisasikannya dan memajukan industri lokal.
Tidak hanya itu, demi menciptakan swasembada gula, mereka juga mengimbau kepada pemerintah untuk menata ulang manajemen yang berkualitas dan yang benar-benar mengerti terhadap industri gula
Selain mencabut izin, Presiden Jokowi diminta untuk mencopot menteri perdagangan yang mengizinkan impor gula rafinasi melebih keperluan industri. Mendag disebut-sebut tidak mampu mengaplikasikan janji presiden terhadap petani tebu untuk mengurangi impor gula rafinasi serta tidak mampu memberantas mafia impor gula rafinasi.
Menyikapi tuntutan agar pemerintah menghentikan impor gula, Presiden Jokowi berulangkali menyatakan bahwa kesetujuannya menghentikan impor gula jika hal itu merugikan bagi petani.
“Kalau memang merugikan petani, dan gula di Indonesia cukup, gampang saja, kita setop impor gula,” kata Jokowi pada acara “jagongan” (bincang santai) dengan ribuan petani di padepokan milik Ketua Aosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil di Desa Tanggul Kulon, Kecamatan Tanggul, Jember, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, Ahmad, petani asal Blora, Jawa Tengah, meminta mantan Wali Kota Surakarta itu menghentikan kebijakan mendatangkan gula dari luar negeri karena hal tersebut telah membuat gula milik petani tidak laku.
Selain soal gula impor, pada kesempatan itu Jokowi juga mendengar banyak keluhan dari para petani, mulai dari harga gula yang rendah hingga hal yang berurusan dengan rendemen tebu.
Rupiah, petani asal Semboro, Jember, mengemukakan bahwa harga gula milik petani di pasaran tidak bisa mencapai harga pokok penjualan (HPP) sebesar Rp8.500,00.
Rozi, petani asal Kabupaten Lumajang mengingatkan Jokowi tentang pentingnya meremajakan mesin-mesin tua yang kini ada di sejumlah pabrik gula (PG) karena hal itu berpengaruh pada hasil produksi gula.
Karena mesin yang sudah tua, kata dia, dalam 1 kuintal tebu dengan rendemen sekitar 7 persen, petani hanya bisa menghasilkan 5 kilogram gula.
“Bayangkan Bapak, dari 1 kuintal tebu hanya mendapatkan 5 kilogram gula. Kalau mesin bagus, hasil yang kami dapatkan pasti tidak serendah itu,” katanya.
Mendapatkan keluhan itu, Jokowi mengemukakan akan segera menghitung persoalan yang berkait dengan tebu dan gula, termasuk kemungkinan subsidi untuk petani tebu.
Ia mengemukakan bahwa kedatangannya ke Kabupaten Jember saat ini untuk mengetahui secara langsung persoalan yang dihadapi rakyat dari kalangan petani tebu.
“Saya ke sini untuk mendengarkan keluhan dari panjenengan semua. Dengan begini saya tahu persoalan petani apa, dan bapak ibu sekalian pasti juga punya solusi,” demikian dikemukakan presiden kala itu.*
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu pemerintah dikejutkan dengan membanjirnya gula mentah atau sugar raw ke pasaran. Ini ulah dari mafia gula di kementerian perdagangan. Mereka memasukan gula mentah atau sugar raw sejumlah 3,2 juta ton ke pasar dalam negeri. Padahal, yang dibutuhkan hanya 2 juta ton saja untuk diproses menjadi gula rafinasi yang digunakan untuk industri makanan dan minuman.
Pergerakan tersebut adalah sebuah kesengajaan untuk mengeruk keuntungan besar: membanjiri pasar dengan gula rafinasi dengan harga yang jauh lebih murah dari gula lokal atau gula putih Kristal.
Dampak dari banjirnya gula rafinasi dipasar bukan saja merugikan petani tebu lokal dan BUMN perkebunan secara ekonomi. Akan tetapi juga sangat membahayakan kesehatan masyarakat yang langsung mengkonsumsi gula rafinasi karena dapat meningkatkan jumlah penderita diabetes di Indonesia.
Gula rafinasi itu berbahaya karena gula itu untuk industri makanan minuman, jadi perlu ada pengolahan lagi kalau mau dikonsumsi, dibandingkan gula hasil produksi dari tumbuhan tebu yang jauh lebih sehat.
Sementara dari sisi ekonomi, dengan semakin maraknya peredaran gula rafinasi di pasar ritel tersebut mengakibatkan harga gula yang berbahan baku dari tebu turut jatuh padahal gula itu yang lebih layak konsumsi.
Oleh karena itu sangat wajar jika Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu mendesak Presiden Jokowi yang pernah berjanji saat kampanye pilpres untuk mencabut izin impor gula rafinasi untuk merealisasikannya dan memajukan industri lokal.
Tidak hanya itu, demi menciptakan swasembada gula, mereka juga mengimbau kepada pemerintah untuk menata ulang manajemen yang berkualitas dan yang benar-benar mengerti terhadap industri gula
Selain mencabut izin, Presiden Jokowi diminta untuk mencopot menteri perdagangan yang mengizinkan impor gula rafinasi melebih keperluan industri. Mendag disebut-sebut tidak mampu mengaplikasikan janji presiden terhadap petani tebu untuk mengurangi impor gula rafinasi serta tidak mampu memberantas mafia impor gula rafinasi.
Menyikapi tuntutan agar pemerintah menghentikan impor gula, Presiden Jokowi berulangkali menyatakan bahwa kesetujuannya menghentikan impor gula jika hal itu merugikan bagi petani.
“Kalau memang merugikan petani, dan gula di Indonesia cukup, gampang saja, kita setop impor gula,” kata Jokowi pada acara “jagongan” (bincang santai) dengan ribuan petani di padepokan milik Ketua Aosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil di Desa Tanggul Kulon, Kecamatan Tanggul, Jember, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, Ahmad, petani asal Blora, Jawa Tengah, meminta mantan Wali Kota Surakarta itu menghentikan kebijakan mendatangkan gula dari luar negeri karena hal tersebut telah membuat gula milik petani tidak laku.
Selain soal gula impor, pada kesempatan itu Jokowi juga mendengar banyak keluhan dari para petani, mulai dari harga gula yang rendah hingga hal yang berurusan dengan rendemen tebu.
Rupiah, petani asal Semboro, Jember, mengemukakan bahwa harga gula milik petani di pasaran tidak bisa mencapai harga pokok penjualan (HPP) sebesar Rp8.500,00.
Rozi, petani asal Kabupaten Lumajang mengingatkan Jokowi tentang pentingnya meremajakan mesin-mesin tua yang kini ada di sejumlah pabrik gula (PG) karena hal itu berpengaruh pada hasil produksi gula.
Karena mesin yang sudah tua, kata dia, dalam 1 kuintal tebu dengan rendemen sekitar 7 persen, petani hanya bisa menghasilkan 5 kilogram gula.
“Bayangkan Bapak, dari 1 kuintal tebu hanya mendapatkan 5 kilogram gula. Kalau mesin bagus, hasil yang kami dapatkan pasti tidak serendah itu,” katanya.
Mendapatkan keluhan itu, Jokowi mengemukakan akan segera menghitung persoalan yang berkait dengan tebu dan gula, termasuk kemungkinan subsidi untuk petani tebu.
Ia mengemukakan bahwa kedatangannya ke Kabupaten Jember saat ini untuk mengetahui secara langsung persoalan yang dihadapi rakyat dari kalangan petani tebu.
“Saya ke sini untuk mendengarkan keluhan dari panjenengan semua. Dengan begini saya tahu persoalan petani apa, dan bapak ibu sekalian pasti juga punya solusi,” demikian dikemukakan presiden kala itu.*
8 SAMURAI GULA, PENGUASA JALUR DISTRIBUSI GULA DI INDONESIA
Pasar gula cenderung oligopoli, hanya dikuasai
beberapa orang. Julukan tujuh, delapan, sembilan samurai gula diberikan untuk
menggambarkan kelompok-kelompok penguasa pasar yang bisa memainkan pasokan dan
harga. Sayangnya pergerakan mereka hanya bisa terendus, belum terjaring hukum
persaingan usaha apalagi pidana.
Gula, Samurai, dan Naga
Samurai dalam bisnis gula merujuk kepada para distributor atau pedagang besar. Istilah ini muncul untuk menggambarkan terhadap penguasaan stok dan harga gula. Jumlah samurai gula pernah mencapai 9 pedagang besar pada 2004. Mereka bermodal kuat, menguasai jalur distribusi gula hingga lapis kedua dari hasil pabrik gula BUMN dan petani. Para samurai tak hanya berperan sebagai pedagang, mereka juga berperan sebagai investor besar, yang punya pendekatan baik kepada petani maupun pabrik gula. Mereka menyiapkan dana talangan kepada petani sebelum kegiatan lelang gula. Mereka dianggap berjasa menekan risiko kerugian petani.
Kondisi ini membuat para “samurai” dengan mudah menguasai stok gula. Saat musim giling tebu atau produksi gula tiba, pada Juni-September, hasil lelang gula jatuh ke tangan para pedagang besar. Kondisi pasar semacam ini identik dengan oligopsoni atau segelintir pembeli menguasai pasar. Sedangkan kondisi sebaliknya saat musim paceklik, ketika tak ada kegiatan giling tebu Desember-April, stok gula sudah dikuasai oleh para pedagang. Dengan demikian pasar gula murni berjalan sebagai oligopoli, hanya beberapa pedagang menguasai stok gula, dan harga pun mudah dikendalikan.
Keadaan semacam ini terjadi semenjak Indonesia menjadi pasien IMF pada 1998. IMF mempereteli kewenangan Bulog sebagai jangkar pengendali harga pangan seperti gula di masa Orde Baru. Bulog yang tak lagi bergigi, memunculkan embrio kelompok-kelompok penguasa pangan dari kalangan swasta. Sebagai antisipasi kondisi pasar yang bebas, dihadirkan sebuah “senjata” wasit persaingan yang bernama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang lahir dari rahim UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Saat KPPU lahir, para samurai pun bermunculan sejak 2002. Dari tahun ke tahun cengkeraman mereka makin besar terhadap penguasaan gula dan jumlahnya bertambah. Cikal bakal samurai ini sebenarnya sudah ada sejak 1980-an saat mereka menjadi mitra Bulog.
“Dari tahun ke tahun kelompok yang 7-8 orang ini menguasai, pada waktu itu gula rafinasi belum mulai ada, rafinasi baru ada sejak 2005,” kata Direktur Eksekutif Nusantara Sugar Community (NSC) Colosewoko kepada tirto.id, Rabu (21/9/2016)
Menurut M. Husein Sawit, seorang peneliti ekonomi pertanian dalam makalahnya yang berjudul “Kebijakan Swasembada Gula: Apanya yang Kurang?” para samurai ini menguasai 80 persen produksi gula di dalam negeri. Bila mengutip Asosiasi Gula Indonesia (AGI) yang mencatat rata-rata produksi gula putih di dalam negeri dalam rentang 2005-2009 hanya 2,37 juta ton per tahun, sebanyak 42 persen berasal dari petani, 22 persen dari pabrik gula BUMN, dan 36 persen dari pabrik gula swasta.
Artinya, bila menghitung kebutuhan konsumsi gula dalam negeri 5,7 juta ton per tahun, maka produksi dalam negeri hanya memenuhi sekitar 40 persen saja, sisanya 60 persen ditopang dari impor khususnya gula mentah yang diolah menjadi gula rafinasi untuk kebutuhan industri makanan minuman hingga farmasi. Celakanya semua lini dari gula lokal hingga gula rafinasi yang berbasis impor, hampir seluruhnya dikuasai oleh swasta
Industri gula rafinasi mulai dilirik oleh banyak pemain gula, termasuk para samurai. Transformasi dari samurai yang selama ini menguasai sebagai pedagang besar gula putih lokal, mereka juga masuk ke industri gula rafinasi yang dianggap lebih menguntungkan. Komposisi samurai gula akhirnya berkurang dari delapan hanya jadi empat samurai sejak 2009.
Kebutuhan terhadap gula rafinasi terus meningkat sejalan perkembangan industri pengguna. Sejak awal 2000-an pemerintah menambah izin pendirian pabrik gula rafinasi. Pada 2004 pabrik gula rafinasi hanya 3 pabrik, lalu terus bertambah menjadi 8 pabrik hingga 2009 dengan kapitas total 3,2 juta ton. Hingga kini totalnya sudah ada 11 pabrik gula rafinasi yang tersebar di Jawa yang umumnya berlokasi dekat pelabuhan antara lain Cilacap, Cilegon, dan Serang. Mereka memang tak disiapkan untuk menyerap tebu petani tapi pencari rente dari gula impor yang diolah. Pemain industri gula rafinasi ini sering juga dijuluki sebagai “naga”.
“Samurai yang dulu, menjelma jadi naga,” kata Colosewoko.
Persoalan gula ini terus menggelinding liar, termasuk ke ranah politik di meja para anggota parlemen di Senayan. Berbagai panitia kerja (panja) gula dibentuk soal gula selama beberapa tahun terakhir, mulai dari tema Panja Swasembada hingga persoalan rembesan gula rafinasi. Hampir setiap tahun juga terjadi isu rivalitas antara gula putih lokal dengan gula impor rafinasi yang merembes ke pasar umum. Namun yang pasti para pemain gula ini lah yang diuntungkan karena kenaikan harga yang terus terjadi akibat lemahnya produksi di dalam negeri. Samurai dan naga menjadi penentu permainan ini.
"Kalau kita selalu mencari jalan keluar dengan cara mengimpor, dampaknya akan mematikan petani tebu dalam negeri," kata Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil yang mewakili suara pabrik gula lokal dan petani, dikutip dari Antara.
Samurai gula memang tak kasat mata, tapi bisa dirasakan keberadaannya dengan kenaikan harga gula di pasar. Di sisi lain petani tak merasakan dampak kenaikan harga gula. Harga gula tercatat dalam 7 tahun terakhir telah naik 41 persen. Pada 2009 harga rata-rata gula nasional masih Rp8.691 per kg, sedangkan tahun lalu sudah mencapai Rp12.317 per kg. Kenaikan ini belum menghitung perkembangan harga gula rata-rata nasional di tahun ini, pada September misalnya harga rata-rata gula sudah mencapai Rp 14.000 per kg.
Sadar terhadap kondisi pasar gula yang tak wajar, pada 2009 KPPU sudah melakukan kajian lebih jauh terkait dengan penyebab tingginya harga gula. Jauh sebelumnya masalah gula juga sempat jadi perkara yang diputuskan KPPU pada 2006, terkait distribusi gula di PTPN XI. Ini hanya satu perkara tata niaga gula yang ditangani KPPU. Padahal persoalan di pasar gula sudah tercium tapi tak tersentuh, karena jari dan tangan KPPU tak kuasa menggenggamnya, apalagi soal ekses pasar dari persoalan kuota impor gula.
“Rezim kuota impor komoditas pangan juga rawan menyebabkan praktik kartel, yaitu persekongkolan Dalam mengatur pasokan komoditas pangan ke pasar (kartel pasokan) atau persekongkolan dalam menetapkan harga (price fixing),” kata Ketua KPPU Muhammad Syarkawi.
Samurai dalam bisnis gula merujuk kepada para distributor atau pedagang besar. Istilah ini muncul untuk menggambarkan terhadap penguasaan stok dan harga gula. Jumlah samurai gula pernah mencapai 9 pedagang besar pada 2004. Mereka bermodal kuat, menguasai jalur distribusi gula hingga lapis kedua dari hasil pabrik gula BUMN dan petani. Para samurai tak hanya berperan sebagai pedagang, mereka juga berperan sebagai investor besar, yang punya pendekatan baik kepada petani maupun pabrik gula. Mereka menyiapkan dana talangan kepada petani sebelum kegiatan lelang gula. Mereka dianggap berjasa menekan risiko kerugian petani.
Kondisi ini membuat para “samurai” dengan mudah menguasai stok gula. Saat musim giling tebu atau produksi gula tiba, pada Juni-September, hasil lelang gula jatuh ke tangan para pedagang besar. Kondisi pasar semacam ini identik dengan oligopsoni atau segelintir pembeli menguasai pasar. Sedangkan kondisi sebaliknya saat musim paceklik, ketika tak ada kegiatan giling tebu Desember-April, stok gula sudah dikuasai oleh para pedagang. Dengan demikian pasar gula murni berjalan sebagai oligopoli, hanya beberapa pedagang menguasai stok gula, dan harga pun mudah dikendalikan.
Keadaan semacam ini terjadi semenjak Indonesia menjadi pasien IMF pada 1998. IMF mempereteli kewenangan Bulog sebagai jangkar pengendali harga pangan seperti gula di masa Orde Baru. Bulog yang tak lagi bergigi, memunculkan embrio kelompok-kelompok penguasa pangan dari kalangan swasta. Sebagai antisipasi kondisi pasar yang bebas, dihadirkan sebuah “senjata” wasit persaingan yang bernama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang lahir dari rahim UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Saat KPPU lahir, para samurai pun bermunculan sejak 2002. Dari tahun ke tahun cengkeraman mereka makin besar terhadap penguasaan gula dan jumlahnya bertambah. Cikal bakal samurai ini sebenarnya sudah ada sejak 1980-an saat mereka menjadi mitra Bulog.
“Dari tahun ke tahun kelompok yang 7-8 orang ini menguasai, pada waktu itu gula rafinasi belum mulai ada, rafinasi baru ada sejak 2005,” kata Direktur Eksekutif Nusantara Sugar Community (NSC) Colosewoko kepada tirto.id, Rabu (21/9/2016)
Menurut M. Husein Sawit, seorang peneliti ekonomi pertanian dalam makalahnya yang berjudul “Kebijakan Swasembada Gula: Apanya yang Kurang?” para samurai ini menguasai 80 persen produksi gula di dalam negeri. Bila mengutip Asosiasi Gula Indonesia (AGI) yang mencatat rata-rata produksi gula putih di dalam negeri dalam rentang 2005-2009 hanya 2,37 juta ton per tahun, sebanyak 42 persen berasal dari petani, 22 persen dari pabrik gula BUMN, dan 36 persen dari pabrik gula swasta.
Artinya, bila menghitung kebutuhan konsumsi gula dalam negeri 5,7 juta ton per tahun, maka produksi dalam negeri hanya memenuhi sekitar 40 persen saja, sisanya 60 persen ditopang dari impor khususnya gula mentah yang diolah menjadi gula rafinasi untuk kebutuhan industri makanan minuman hingga farmasi. Celakanya semua lini dari gula lokal hingga gula rafinasi yang berbasis impor, hampir seluruhnya dikuasai oleh swasta
Industri gula rafinasi mulai dilirik oleh banyak pemain gula, termasuk para samurai. Transformasi dari samurai yang selama ini menguasai sebagai pedagang besar gula putih lokal, mereka juga masuk ke industri gula rafinasi yang dianggap lebih menguntungkan. Komposisi samurai gula akhirnya berkurang dari delapan hanya jadi empat samurai sejak 2009.
Kebutuhan terhadap gula rafinasi terus meningkat sejalan perkembangan industri pengguna. Sejak awal 2000-an pemerintah menambah izin pendirian pabrik gula rafinasi. Pada 2004 pabrik gula rafinasi hanya 3 pabrik, lalu terus bertambah menjadi 8 pabrik hingga 2009 dengan kapitas total 3,2 juta ton. Hingga kini totalnya sudah ada 11 pabrik gula rafinasi yang tersebar di Jawa yang umumnya berlokasi dekat pelabuhan antara lain Cilacap, Cilegon, dan Serang. Mereka memang tak disiapkan untuk menyerap tebu petani tapi pencari rente dari gula impor yang diolah. Pemain industri gula rafinasi ini sering juga dijuluki sebagai “naga”.
“Samurai yang dulu, menjelma jadi naga,” kata Colosewoko.
Persoalan gula ini terus menggelinding liar, termasuk ke ranah politik di meja para anggota parlemen di Senayan. Berbagai panitia kerja (panja) gula dibentuk soal gula selama beberapa tahun terakhir, mulai dari tema Panja Swasembada hingga persoalan rembesan gula rafinasi. Hampir setiap tahun juga terjadi isu rivalitas antara gula putih lokal dengan gula impor rafinasi yang merembes ke pasar umum. Namun yang pasti para pemain gula ini lah yang diuntungkan karena kenaikan harga yang terus terjadi akibat lemahnya produksi di dalam negeri. Samurai dan naga menjadi penentu permainan ini.
"Kalau kita selalu mencari jalan keluar dengan cara mengimpor, dampaknya akan mematikan petani tebu dalam negeri," kata Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil yang mewakili suara pabrik gula lokal dan petani, dikutip dari Antara.
Samurai gula memang tak kasat mata, tapi bisa dirasakan keberadaannya dengan kenaikan harga gula di pasar. Di sisi lain petani tak merasakan dampak kenaikan harga gula. Harga gula tercatat dalam 7 tahun terakhir telah naik 41 persen. Pada 2009 harga rata-rata gula nasional masih Rp8.691 per kg, sedangkan tahun lalu sudah mencapai Rp12.317 per kg. Kenaikan ini belum menghitung perkembangan harga gula rata-rata nasional di tahun ini, pada September misalnya harga rata-rata gula sudah mencapai Rp 14.000 per kg.
Sadar terhadap kondisi pasar gula yang tak wajar, pada 2009 KPPU sudah melakukan kajian lebih jauh terkait dengan penyebab tingginya harga gula. Jauh sebelumnya masalah gula juga sempat jadi perkara yang diputuskan KPPU pada 2006, terkait distribusi gula di PTPN XI. Ini hanya satu perkara tata niaga gula yang ditangani KPPU. Padahal persoalan di pasar gula sudah tercium tapi tak tersentuh, karena jari dan tangan KPPU tak kuasa menggenggamnya, apalagi soal ekses pasar dari persoalan kuota impor gula.
“Rezim kuota impor komoditas pangan juga rawan menyebabkan praktik kartel, yaitu persekongkolan Dalam mengatur pasokan komoditas pangan ke pasar (kartel pasokan) atau persekongkolan dalam menetapkan harga (price fixing),” kata Ketua KPPU Muhammad Syarkawi.
Senjata yang Tumpul
Sayangnya di tengah pasar yang tak sehat ini, KPPU sebagai “senjata” pengendali di rezim pasar bebas, tak punya taji dan kekuatan yang besar. Ini dapat terlihat dari hasil penanganan keberatan di Pengadilan Negeri (PN) maupun penanganan kasasi di Mahkamah Agung (MA) selama periode 2000-2011, sebanyak 44 persen putusan KPPU dibatalkan oleh PN dan 56 persen diperkuat oleh PN. Sedangkan untuk tingkat MA, 27 persen keputusan KPPU dibatalkan oleh MA dan sisanya 73 persen diperkuat MA.
Data lain menunjukkan minimnya eksekusi atas hasil keputusan KPPU. Setidaknya ada 52 perkara yang sudah ditetapkan KPPU, tetapi belum dilaksanakan. Hal ini terjadi karena putusan yang dikeluarkan oleh KPPU harus dimintakan penetapan eksekusi ke PN. Artinya, putusan KPPU tidak dapat langsung dieksekusi atau dilaksanakan. Putusan KPPU biasanya jadi bukti awal penyidikan di PN bila terlapor sebuah kasus mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU.
KPPU dihadapkan dengan persoalan internal soal status pegawai KPPU yang saat ini hanya berstatus honorer. Persoalan ini berbuntut pada kinerja KPPU secara keseluruhan khususnya soal produktivitas mereka dalam menangani dan memutuskan perkara.
Lembaga wasit persaingan usaha ini juga punya masalah soal wewenang. Berdasarkan UU No 5 Tahun 1999, kewenangan KPPU hanya sebatas menerima laporan, melakukan penelitian, penyelidikan, menyimpulkan penyelidikan, memanggil pelaku usaha, menghadirkan saksi, menetapkan keputusan, dan menjatuhkan sanksi. KPPU tak punya wewenang untuk mempermudah penyelidikan dan penyidikan seperti menyita alat bukti atau upaya paksa memanggil para terduga kasus persaingan usaha.
Kekuatan KPPU sangat jauh jika dibandingkan lembaga penegak hukum lain, misalnya KPK. Selama ini KPK terkenal dengan instrumen Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang bisa membuat orang lain jera. Namun, KPPU hanya punya instrumen mengenakan denda atas sebuah pelanggaran. Ironisnya, denda maksimal hanya Rp25 miliar. Denda yang kecil ini tak memberikan efek jera. Posisi KPPU yang lemah ini bukan tidak disadari oleh para pemangku kepentingan. DPR pun mengajukan revisi UU No 5 Tahun 1999 sejak 2011, tapi belum terealisasi hingga kini.
Pemerintah punya tiga modal untuk membenahi persoalan pasar gula. Pertama, penegakan hukum persaingan usaha dengan memaksimalkan KPPU, termasuk dibantu dengan penegakan hukum pidana. Kedua, meningkatkan produksi gula dan kapasitas industri gula nasional dengan pabrik baru dan peremajaan lahan tebu. Ketiga, memaksimalkan peran Bulog dari sisi stok hingga kemampuan distribusi, jangan hanya bergantung dengan mitra.
Tiga cara ini bisa jadi solusi untuk membenahi pasar gula, tapi bukan langkah yang mudah. Ini sama hal dengan kisah memberantas para bandit pencuri hasil panen petani dalam kisah Seven Samurai. Gula merupakan komoditas yang menguntungkan karena harganya terus naik dan bisa dipermainkan. Orang pun bisa gelap mata karenanya.
Sayangnya di tengah pasar yang tak sehat ini, KPPU sebagai “senjata” pengendali di rezim pasar bebas, tak punya taji dan kekuatan yang besar. Ini dapat terlihat dari hasil penanganan keberatan di Pengadilan Negeri (PN) maupun penanganan kasasi di Mahkamah Agung (MA) selama periode 2000-2011, sebanyak 44 persen putusan KPPU dibatalkan oleh PN dan 56 persen diperkuat oleh PN. Sedangkan untuk tingkat MA, 27 persen keputusan KPPU dibatalkan oleh MA dan sisanya 73 persen diperkuat MA.
Data lain menunjukkan minimnya eksekusi atas hasil keputusan KPPU. Setidaknya ada 52 perkara yang sudah ditetapkan KPPU, tetapi belum dilaksanakan. Hal ini terjadi karena putusan yang dikeluarkan oleh KPPU harus dimintakan penetapan eksekusi ke PN. Artinya, putusan KPPU tidak dapat langsung dieksekusi atau dilaksanakan. Putusan KPPU biasanya jadi bukti awal penyidikan di PN bila terlapor sebuah kasus mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU.
KPPU dihadapkan dengan persoalan internal soal status pegawai KPPU yang saat ini hanya berstatus honorer. Persoalan ini berbuntut pada kinerja KPPU secara keseluruhan khususnya soal produktivitas mereka dalam menangani dan memutuskan perkara.
Lembaga wasit persaingan usaha ini juga punya masalah soal wewenang. Berdasarkan UU No 5 Tahun 1999, kewenangan KPPU hanya sebatas menerima laporan, melakukan penelitian, penyelidikan, menyimpulkan penyelidikan, memanggil pelaku usaha, menghadirkan saksi, menetapkan keputusan, dan menjatuhkan sanksi. KPPU tak punya wewenang untuk mempermudah penyelidikan dan penyidikan seperti menyita alat bukti atau upaya paksa memanggil para terduga kasus persaingan usaha.
Kekuatan KPPU sangat jauh jika dibandingkan lembaga penegak hukum lain, misalnya KPK. Selama ini KPK terkenal dengan instrumen Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang bisa membuat orang lain jera. Namun, KPPU hanya punya instrumen mengenakan denda atas sebuah pelanggaran. Ironisnya, denda maksimal hanya Rp25 miliar. Denda yang kecil ini tak memberikan efek jera. Posisi KPPU yang lemah ini bukan tidak disadari oleh para pemangku kepentingan. DPR pun mengajukan revisi UU No 5 Tahun 1999 sejak 2011, tapi belum terealisasi hingga kini.
Pemerintah punya tiga modal untuk membenahi persoalan pasar gula. Pertama, penegakan hukum persaingan usaha dengan memaksimalkan KPPU, termasuk dibantu dengan penegakan hukum pidana. Kedua, meningkatkan produksi gula dan kapasitas industri gula nasional dengan pabrik baru dan peremajaan lahan tebu. Ketiga, memaksimalkan peran Bulog dari sisi stok hingga kemampuan distribusi, jangan hanya bergantung dengan mitra.
Tiga cara ini bisa jadi solusi untuk membenahi pasar gula, tapi bukan langkah yang mudah. Ini sama hal dengan kisah memberantas para bandit pencuri hasil panen petani dalam kisah Seven Samurai. Gula merupakan komoditas yang menguntungkan karena harganya terus naik dan bisa dipermainkan. Orang pun bisa gelap mata karenanya.
Kamis, 10 November 2016
PELANTIKAN PENGURUS DPD APEGTI 22 KABUPATEN/KOTA DI NTT
Setelah Pengurus DPP Asosiasi Pengusaha Gula Dan Terigu /APEGTI Provinsi NTT di lantik, selanjutnya Ketua DPP APEGTI NTT Elvin Chendra kembali melantik pengurus DPD APEGTI seluruh kabupaten/kota yang ada di NTT.
SUSUNAN PENGURUS DPD APEGTI SE-NTT
1.
DPD Kota Kupang
Ketua
: Gaudensius Lobang S. Fil
Sekretaris : Maria Magdalena..
Bendahara
: Meidelzed Amtiran SE
Anggota
:Antontje Markus Lollo. SE
Anggota
: Elvin Chendra S Pi
Anggota
: Lalu Adi Adrian SE
2.
DPD Kab Kupang
Ketua
: Ellen Diana Amtiran
Sekretaris : Oktovika F Koroh
Bendahara
: Susana I J Udju
Anggota:
Yulianti Lawa
Anggota
: Fincensius Tupan
3.
DPD Kab TTS
Ketua
:Meltus Noh Koy
Sekretaris : Felix Tanesib
Bendahara:
Orance Yuliana Ottu
Anggota
: Anselmus K Salomuwa
Anggota
: Desi Manubulu S.Sos MM
4.
DPD Kab TTU :
Ketua
:Agustina Anen,.S.Kom
Sekretaris : Mathias Nailiu
Bendahara
: Yoanetha Lay
Anggota:
Silvester Nenobais
Anggota
: Lay Koet Tjung
5.
DPD Kab Sumba Timur
Ketua :Afian Rajah
Sekretaris : Min Hina Mangola Tara
Bendahara
:
Anggota
:
Anggota
:
6.
DPD Kab Sumba Barat :
Ketua
: Fetriani Maga Hore
Sekretaris : Adriana Willu Rade
Bendahara
: Paulina Woso
Anggota
: Marsel Lobang
Anggota
: Paulinus Lobang
7.
DPD Kab Sumba Barat Daya :
Ketua
: Justus Amaradin Fanggidae
Sekretaris : Johni Luther Sau
Bendahara
: Ina Dangawila
Anggota
:
Anggota
:
8.
DPD Kab Sumba Tengah :
Ketua
: Kristopel Umbu Timba Taragua
Sekretaris :
Bendahara
:
Anggota:
Anggota:
9.
DPD Kab Rote Ndao :
Ketua
:Melkianus Tiboya
Sekretaris :Serciani Lassa
Bendahara
: Damasus Sogan S Kom
Anggota
: Joni Lapebesy
Anggota
: Simson Tasi
Anggota
: Imanuel Yanuarius Anin
10.
DPD Kab Belu :
Ketua
: Julianus Lasakar,ST.
Sekretaris : Marselus Muti Anen
Bendahara
: Fabianus Maximus Lopez SE
Anggota
: Emiliana Seran
Anggota
: Fidelis Gaudens Mau Leon
11.
DPD Kab Sabu Raijua :
Ketua
: Dominggus Hau Pia.A.Md
Sekretaris : Simon Mia
Bendahara
: Marthinus Djo
Anggota
: Melkianus Lay Lele
Anggota
: Kaleb Lele
12.
Kab Ngada
Ketua
: Laurensius Pelipus Dhiu Saga
Sekretaris : Maria Antonius Djone
Bendahara
: Robertus Marianus Sai
Anggota
: Yohanes Capestrano Luna
Anggota
: A Y M Vianey Rowa
13.
DPD Kab Nagakeo :
Ketua
: Fransiskus Tage Doa
Sekretaris : Yorius Goa
Bendahara
: Raymundus Jago
Anggota
: Ambrosius Wajo
Anggota
: Donatus Mola Ito
Anggota
: Andreas Tuba Ghela
Anggota
: Sandra Dewi Sartika Mogi
14.
DPD Kab Sikka :
Ketua : Yosef Nua,.S.Ip,.M.Sc
Sekretaris : Agustinus Walman Herdiyanto
Bendahara
: Yovianas Madona Maria Pure Bass
Anggota
: Agustinus Cawa
Anggota
: Emanuel Burak Hurint
Anggota
: Yance Domisius Djami S Pt
15.
DPD Kab Alor :
Ketua
: Kadarisman Hasan
Sekretaris : Faridh Qamal Basar
Bendahara : Sulkifli SE
Anggota
: M Ikwan Wahid
Anggota
: Kurniawan Syuab SE
16.
DPD Kab Ende :
Ketua : Maria De Clara Pama
Sekretaris : Adrianus Reda
Bendahara
: Antonius Ruka
Anggota
: Familia Mariani
Anggota
: Thomas A E Senda
Anggota
: Kornelis Bhara
Anggota
: Rafael Mari
Anggota
: Klemensia Hildegardi Herbonia Ea Ow
17.
DPD Kab Flores Timur :
Ketua
: Dionisius Lamalewa
Sekretaris : Edwardo Emanuel
Bendahara
:
Anggota
:
Anggota
:
18.
DPD Kab Lembata :
Theresia Sude Malinto
Sekretaris : Hendrik Loza
Bendahara:
Anggota
:
Anggota
:
19.
DPD Kab Malaka :
Ketua
::Erfin Laak
Sekretaris : Alexander Lasakar
Bendahara
: Fransiskus Nenobais
Anggota
: Emilia Manek
Anggota
: Yohanes Jemi Lugiarto
20.
DPD Kab Manggarai Raya :
Ketua
: Donatus Hemo
Sekretaris : Maria Jati Jus
Bendahara
: Adrianus Besa
Anggota
: Kristoforus Hermansa Tarus
Anggota
: Servasius Trisno
21.
DPD Kab Manggarai Barat :
Ketua
: Sirilus Ladur
Sekretaris : Hengky Edison
Bendahara
: Hendrikus Harfon
Anggota
: Monaldus Mansuandi
Jurae
22.
DPD Kab Manggarai Timur :
Ketua
: Lukas Pate
Sekretaris : Victor Emanuel Teras
Bendahara
: Kristina Noi
Anggota
: Fransiskus Saverius Reven Hengki
Anggota
: Bernadbus Laka
PELANTIKAN PENGURUS DPP APEGTI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Badan
Pengurus Pusat Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (APEGTI), melantik
pengurus APEGTI Propinsi, kota dan kabupaten se-NTT masa bakti 2016 – 2019 di
Palacio Room Asthon Hotel Kupang, Senin (07/11/16) siang.
Plt. Ketua Umum Dewan
Pengurus Nasional APEGTI, Syarif Usman Almuthahar, pada sambutan pelantikan
pengambilan sumpah pengurus APEGTI se-NTT mengatakan, APEGTI lahir dari
masyarakat dan membangun jaringan ke setiap daerah di seluruh wilayah
Indonesia, dengan harapan bisa menjaga stabilitas Harga Eceran Tertinggi
(HET) gula, tepung serta bahan pokok lainnya. “Semangat dan optimisme pengurus
dapat membawa masyarakat menuju kemandirian pangan,” katanya.
Selain untuk menjaga
stabilitas peredaran dan permainan harga oleh para spekulan di NTT, Almuthahar
berharap putra daerah yang menjadi bagian dalam pengurus APEGTI NTT dapat
memainkan fungsi kontrolnya secara cepat dan tepat terkait permainan harga oleh
para spekulan.
Hal yang sama, juga
disampaikan Hendra Firmansyah, Wakil Sekjen DPN APEGTI, menurutnya, komitmen,
kerja keras melalui tugas tanggung jawab yang diemban akan menjadi senjata bagi
para pengurus APEGTI NTT dalam mainkan perannya mendukung Pemerintah soal
pengawasan harga sembilan bahan pokok (sembako).
Sementara itu, Meidelzed
Amtiran, wakil ketua II APEGTI NTT, Bidang Hubungan Pemerintah dan Antar
Lembaga, usai pelantikan kepada wartawan mengatakan siap melaksanakan tugas
yang telah dipercayakan. Menurut dia, dengan dikukuhkannya kepengurusan APEGTI
NTT, dalam memasuki penghujung tahun sering terjadi permainan harga. Untuk itu,
dirinya berharap kepada semua pengurus Kabupaten / Kota yang telah dilantik,
melakukan fungsi dalam pengawasan stabilitas harga sembako khususnya tepung dan
gula di daerah masing – masing. “Saya harap kepengurusan ini solid dalam
melakukan tugas yang telah diberi. Tentu bertujuan untuk kemajuan NTT kedepan,”
pungkasnya.
Susunan Dewan Pengurus Provinsi APEGTI NTT :
Ketua DPP : Elvin Chendra,.S.Pi
Wakil (I) Bidang Perdagangan Dalam Negeri, Luar Negeri
& Industri : Soleman Amalo,.SE
Wakil (II) Bidang Hubungan Pemerintah & Antar Lembaga
: Meidelzed Amtiran,.SE
Wakil (III) Bidang Keuangan, Fiscal & Hubungan
Multilateral : Eko Hardipurnomo, SE, MHum
Wakil (IV) Bidang Kemitraan & UKM : UMAYA PUSPITA
SARI, SE
Sekretaris : Antontje Markus Lollo,.SE
Sekretaris I : Lusia Hoar
Bendahara : Lalu Adi Adrian,.SE
Bendahara I : Ivana Chendra,.SE
Langganan:
Postingan (Atom)